NovelTere Liye dari serial Bumi yang keempat ialah berjudul Bintang. Novel dengan tebal 392 halaman ini, pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017. Pada novel ini, Ali, Raib, dan Seli masih melanjutkan misinya di klan Bintang. Apa misi yang akan mereka lakukan?
DownloadEbook Tere Liye - Bumi (PDF) JUDUL NOVEL : Bumi. Penulis : Tere Liye. Series :Buku #1. Bahasa : Indonesia. Tahun Terbit : 2014. Silahkan klik salah satu link di bawah ini untuk men-download ebook (tunggu 5 detik kemudian klik 'Skip This Ad'): DOWNLOAD LINK 1.
TereLiye memberikan banyak kejutan ditiap halaman yang direpresentasikan oleh Raib, membuat pembaca dapat menikmati cerita yang seolah tidak akan ada habisnya. Tere Liye berhasil meracik buku ini sebagai bahan baca para pecinta novel sastra maupun fantasi. Link Download Novel Tere Liye - Bumi Pdf DOWNLOAD novel bumi | DropBox
BUMIOleh Tere Liye GM 312 01 14 0003 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29-33, Jakarta 10270 Desain sampul: eMTe Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, Januari 2014 cipta dilindungi oleh undang-undang.
NovelTere Liye Bumi posts about sinopsis novel bumi karya tere liye written by referensibukubagus referensi buku bagus sinopsis buku resensi buku review buku buku terbaik referensi buku terbaru 2017 referensi buku islam buku best seller 2017, tere liye kamis 18 agustus 2016 saat merilis pertama kali novel bumi tahun 2014 saya tidak
DownloadEbook Buku Novel Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah Gratis - Tere Liye. MEGA GDRIVE MEDIAFIRE. PERPSUTAKAANDUNAIKU - Siapa yang tidak kenal dengan Tere Liye, Tere Liye dikenal sebagai seorang penulis Novel yang menyentuh Hati dan menarik, karya-karyanya selalui membuat booming para pembaca novel. beliau lahir di Lahat, 21 Mei 1979
Bumi- Tere Liye Sinopsis - Novel ini adalah buku pertama dari serial "BUMI". Novel BUMI ini bisa kalian download melalui link yang kami sediakan di bagian bawah halaman ini. Namaku Raib, usiaku 15 tahun, kelas sepuluh. Aku anak perempuan seperti kalian, adik-adik kalian, tetangga kalian. Aku punya dua kucing, namanya si Putih dan si Hitam.
DownloadNovel Bumi [ Tere Liye ] Pdf . Puyang. Novel Tere Liye 0 Januari 23, 2019. Judul Novel : BUMI Penulis : Tere Liye Penerbit : Gramedia Tahun Terbit : 9 Agustus 2018 Halaman : 440 Download Southern Eclipse Pdf. Puyang. Novel Romance
DownloadPDF Novel BUMI Karya Tere Liye - Novel berjudul Bumi ini merupakan karya dari penulis ternama di Indonesia, yakni Tere Liye. diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama di tahun 2014. Prolog. Namaku Raib. Aku murid baru di sekolah. Usiaku lima belas tahun. Aku anak tunggal, perempuan.
zW1ghv. review 1 Novel ini menceritakan tentang kisah seorang siswi SMA kelas X, bernama Raib. Di sekolah, Raib memiliki teman dekat, namanya Seli. Mereka berdua sangat memiliki teman baik, Raib juga memiliki calon musuh di sekolahnya, Ali. Lelaki yang sembrono, urak-urakan, rambutnya yang berantakan,namun sangat genius! Ali pernah meledakan sebuah laboratorium fisika tempat karantina peserta seleksi olimpiade fisika, karena iseng melakukan percobaan entah apa. Namun pada akhirnya, Ali menjadi salah satu teman terbaik mereka bertiga Raib, Seli, dan Ali dimulai, ketika mereka memasuki dunia lain melalui buku PR Matematika milik Raib. Satu per satu rahasia mulai terungkap identitas mereka, kekuatan mereka, dan dunia darimana mereka berasal. I rate 4 of 5 stars ... morefor this aku beli novel ini karena tertarik dengan judul dansinopsisnya. Novel ini juga novel pertama karangan Tere Liye yang bab awal, aku merasa bosan. Bahkan, aku hampir tak melanjutkan membacanya. Kenapa? Karena alurnya terlalu lambat. Akan tetapi, di pertengahan bab aku baru merasakan serunya petualangan di novel cerita yang menarik patut ku ancungi jempol. Novel ini bahkan dapat membuatku tidak sabar menunggu buku selanjutnya Bulan. Kuharap di buku 2 nanti petualangannya lebih 2 Karya Tere Liye yang kesekian, namun ini tulisan dia yang pertama untuk pertama kalinya membaca fantasi fiksi, mau tidak mau saya harus flashback ke masa-masa sekolah dulu karena latar belakang cerita ini bercerita tentang tiga sahabat yang masih baru masuk Seli dan Ali. Itulah tokoh di novel ini, Raib seorang remaja berumur limabelas merasakan keanehan dalam tubuhnya waktu umur dua bisa menghilang hanya dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di Seli, teman dekat Raib satu kelas juga mempunyai keahlian khusus yaitu bisa mengeluarkan petir dari tangannya, dia juga bisa menggerakkan benda-benda dari jarak yang Ali, juga teman sekelas mereka. Namun anak ini tidak mempunyai kekuatan aneh seperti dua temannya tadi, tapi Ali murid yang sangat jenius di garis besar cerita ini dimulai ketika, Miss Selena guru matematika Raib menyerahkan buku PR matematika kepada pun bingung kenapa gurunya sampai datang ke rumah hanya untuk menyerahkan buku PR-nya, ternyata buku itu menyimpan kekuatan yang maha tiga sahabat tadi pergi ke dunia lain dengan bantuan buku PR Raib ! less Download links for Bumi Advertising Reviews see all jessiestereos i think this is first sci-fi book who created by indonesian people imani sekarang malah tambah penasaran -_- Rolofbooks kurang suka novel fantasi ._. Write review
Namaku Raib, usiaku 15 tahun, kelas sepuluh. Aku anak perempuan seperti kalian, adik-adik kalian, tetangga kalian. Aku punya dua kucing, namanya si Putih dan si Hitam. Mama dan papaku menyenangkan. Guru-guru di sekolahku seru. Teman-temanku baik dan kompak. Aku sama seperti remaja kebanyakan, kecuali satu hal. Sesuatu yang kusimpan sendiri sejak kecil. Sesuatu yang menakjubkan. Namaku, Raib. Dan aku bisa menghilang. Untuk membaca novel yang berjudul "Bumi " karya Tere Liye, silahkan download dalam bentuk ebook format file pdf melalui link di bawah ini. DOWNLOAD Baca Novel Bumi karya Tere Liye Anda juga bisa membaca secara online maupun offline ebook yang berjudul Bumi yang ditulis oleh Tere Liye. Jika ingin membaca, silahkan klik tombol download di atas. Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Novel Bumi ini sangat seru untuk dibaca. Untuk ebook menarik lainnya, silahkan kunjungi di sini. Tere Liye Novel
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama JakartaBUMI Oleh Tere Liye GM 312 01 14 0003 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29–33, Jakarta 10270 Desain sampul eMTe Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, Januari 2014 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagianatau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. ISBN 978-602-03-0112-9 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab PercetakanTereLiye “Bumi” 1 AMAKU Raib. Aku murid baru di sekolah. Usiaku lima belastahun. Aku anak tunggal, perempuan. Untuk remaja seÂumuranku, tidakada yang spesial tentangku. Aku berambut hitam, panjang, dan suka membaca dan mempunyai dua ekor kucing di rumah. Akubukan anak yang pintar, apalagi populer. Aku hanya kenal teman-temansekelas, itu pun seputar anak perempuan. Nilaiku rata-rata, tidak adayang terlalu cemerlang, kecuali pelajaran bahasa aku amat menyukainya. Di kelas sepuluh sekolah baru ini, aku lebih suka menyendiri danmemperhatikan, menonton teman-teman bermain basket. Aku dudukdiam di keramaian di kantin, di depan kelas, dan di lapangan. Sebenarnyasejak kecil aku terbilang anak pemalu. Tidak pemalu-pemalu sekalimemang, meskipun satu-dua kali jadi bahan tertawaan teman ataukerabat. Normal-normal saja, tapi sungguh urusan pemalu inilah yangmembuatku berbeda dari remaja kebanyakan. Aku ternyata amat berbeda. Aku memiliki kekuatan. Aku tahu itusejak masih kecil meskipun hingga hari ini kedua orangÂtuaku, teman-teman dekatku tidak tahu. Waktu usiaku dua tahun, aku suka sekali bermain petak pura-pura bersembunyi, lantas aku sibuk mencari. Akutertawa saat menemukan mereka. Kemudian giliranku pernah melihat anak kecil usia dua tahun mencoba bersembunyi?Kebanyakan mereka hanya berdiri di pojok kamar, atau di samping sofa,atau di belakang meja, lantas menutupi wajah dengan kedua telapaktangan. Mereka merasa itu sudah cukup sempurna untuk sudah meÂnutupi wajah, gelap, sudah tersembunyi semua, padahaltubuh mereka amat terlihat. Aku juga melakukan hal yang sama saat Papa bilang, ”Raib, ayobersembunyi. Giliran Mama dan Papa yang jaga.” Maka aku tertawacomel, berlari ke kamarku, berdiri di samping lemari, meÂnutupi wajahdengan kedua telapak tanganku. “Bumi” 2 Usiaku saat itu bahkan baru dua puluh dua bulan, belum genapdua tahun. Itu permainan hebat pertama yang pernah kuÂmainkandengan penuh antusias. Namun, ternyata permainan itu tidak seru. Orangtuaku cu giliranku jaga dan mereka bersembunyi, aku seÂlalu berhasilmenemukan mereka. Di balik gorden, di balik pot bunga besar, dibelakang apalah, aku bisa menemukan mereka meskipun sebenarnya akutahu dari suara mereka menahan tawa. Tetapi saat aku yangbersembunyi, mereka tidak pernah berhasil meÂnemukanku. Merekahanya sibuk memanggil-manggil namaÂku, tertawa, masuk kamarku,sibuk memeriksa seluruh kamar. Mereka melewatkanku yang berdiripersis di samping lemari. Aku sebal. Aku mengintip dari balik jemari kedua telapak pastilah pura-pura tidak melihatku. Bagaimana mungkinmereka tidak melihatku? Itu berkali-kali terÂjadi. Saat aku bersembunyi diruang tengah, mereka juga berÂpura-pura tidak melihatku. Bahkan saataku hanya bersembunyi di tengah ruang keluarga rumah kami, menutupwajah dengan telapak tangan, mereka juga pura-pura tidak melihatku. Saat kesal, kulepaskan telapak tangan yang menutupi hanya berseru, ”Astaga, Raib? Kamu ternyata ada di situ?” atau”Aduh, Raib, bagaimana kamu tiba-tiba ada di sini? Kami dari tadimelewati tempat ini, tapi tidak melihatmu.” Lantas mereka memasangwajah seperti terkejut melihatku yang berdiri polos. Mereka memasangwajah tidak mengerti bagaiÂmana aku bisa tiba-tiba muncul. Padahal akusungguh sebal meÂnunggu kapan mereka akan berhenti berpura-puratidak meÂlihatku. Permainan petak umpet itu hanya bertahan satu-dua bulan. Akubosan. Aku sungguh tidak menyadari saat itu. Itulah kali pertamakekuatan itu muncul. Kekuatan yang tidak pernah berhasil aku meÂngertihingga hari ini, kekuatan yang kurahasiakan dari siapa pun hinggausiaku lima belas. Aku tinggal menutupi wajahku deÂngan kedua telapaktangan, berniat bersembunyi, maka sekeÂtika, seluruh tubuhku tidakterlihat. Lenyap. Orangtuaku sungÂguh tidak punya ide bahwa anak “Bumi” 3perempuan mereka yang berÂusia kurang dari dua tahun bersembunyipersis di depan mereka, berdiri di tengah karpet, mengintip dari sela-selajarinya. Namaku Raib, gadis remaja usia lima belas tahun. Aku bisa menghilang, dalam artian benar-benar menghilang. “Bumi” 4 DUH, Ra, berhentilah mengagetkan Mama!” Mama berseru,wajahnya pucat. Papa yang tergesa-gesa menuruni anak tangga, bergabung di mejamakan, tertawa melihat Mama yang sedang mengelus dada danmengembuskan napas. Mama menatapku kesal. ”Sejak kapan kamu sudah duduk di depan meja makan?” ”Dari tadi, Ma.” Aku ringan mengangkat bahu, meraih kotak susu. ”Bukannya kamu tadi masih di kamar? Berkali-kali Mama teÂriakikamu agar turun, sarapan. Sampai serak suara Mama. Ini sudah hampirsetengah enam. Nanti terlambat. Eh, ternyata kamu sudah di sini?” Mamamenghela napas sekejap, lantas di kejap berikutÂnya, tanpa menunggujawabanku, sudah gesit mengangkat roti dari pemanggang, masihbersungut-sungut. Celemeknya terlihat miring, ada satu-dua noda yangtidak hilang setelah dicuci berÂkali-kali. Rambut di dahinya berantakan,menutupi pelipis. Mama gesit sekali bekerja. ”Ra sudah dari tadi duduk di sini kok. Mama saja yang nggak lihat.”Aku menuangkan susu ke gelas. ”Beneran.” ”Berhenti menggoda mamamu, Ra.” Papa memperbaiki dasi,meÂnarik kursi, duduk, lalu tersenyum. ”Mamamu itu selalu tidakmemÂperhatikan sekitar, sejak kamu kecil. Selalu begitu.” Aku membalas senyum Papa dengan senyum tanggung. Itu adalah penjelasan sederhana Papa atas keanehan keluarga kamisejak usiaku dua puluh dua bulan. Sejak permainan petak umpet yangtidak seru. Sesimpel itu. Mama tidak memperhatikan sekitar dengan kalau aku sedang bosan, tidak mau dilihat siapa pun, atausedang iseng, aku menutupi wajahku dengan telapak tangan, menghilang. “Bumi” 5 Seperti pagi ini, Mama berÂteriak membangunkan Papa danmeneriakiku agar bergegas. Mama sibuk memulai hari, menyiapkansarapan, dan membereskan kamar. Mama selalu begitu, terlihat dari peraturannya aku benci peraturan-peraturan Mama yangkalau dibukukan bisa setebal novel Mama ibu rumah tangga yang hebat,cekatÂan, mengurus semua keperluan rumah tangga sendirian, tanpapembantu. Dulu, sambil menunggu Papa turun bergabung ke meja makan, akusuka memperhatikan Mama bekerja di dapur. Tentu saja kalau aku hanyaduduk bengong menonton, paling bertahan tiga detik, sebelum Mamasegera melemparkan celemek, meÂnyuruhku membantu. Jadi, untukmenghindari disuruh mencuci wajan dan sebagainya, aku iseng”menonton” sambil bertopang tangan di meja dengan kedua telapaktangan menutupi wajah, membuat tubuhku menghilang sempurna,mengintip Mama yang sibuk bekerja. Mama sibuk meneriakiku, ”Raaa! Turun, sudah siang.” Lantas diamengomel sendiri, bicara dengan wajan panas di depannya, ”Anak gadisremaja sekarang selalu bangun kesiangan. Alangkah susah mendidikanak itu.” Lantas dia menoleh lagi ke atas, ke anak tangga, berteriak,”Papaaa! Turun, sudah jam enam lewat. Bukankah ada rapat penting dikantor?” Lantas dia mengomel lagi sendirian, bicara dengan wajan panaslagi, sambil membalik omelet, ”Kalau mandi selalu saja lama. Contoh yangburuk. BagaiÂmana Ra akan bisa tangkas mengerjakan pekerjaan rumahkalau papanya juga selalu santai. Anak sama papa sama sajakelakuÂanÂnya.” Dulu aku suka tertawa melihat Mama mengomel sendiri. Lucusekali. Aku mengintip dari balik jari, bersembunyi, sambil menguapkarena masih mengantuk walau telah mandi. Aku bisa bermenit-menitdiam, bertopang tangan, menonton Mama. Itu memÂbuatku tidak perlubekerja pagi-pagi membantunya, sekaliÂgus tahu banyak rahasia,misalnya apakah aku jadi dibelikan seÂpeda atau tidak, apa hadiah ulangtahunku besok, dan sebagaiÂnya. Sekarang serunya hanya sedikit, tidak sesering dulu. Sejak usiabelasan aku lebih dari tahu tanggung jawabku. Sekali-dua kali sajaisengku kambuh. Seperti pagi ini, aku sebenarnya sudah sejak tadi turun “Bumi” 6dari lantai dua rumah kami, rapi mengenakan seragam sekolah,bergabung di meja makan. Tetapi karena bosan menunggu Papa turun,daripada disuruh-suruh Mama, aku meÂmutuskan ”bersembunyi”, isengmenonton. ”Kamu sudah lama menunggu, Ra?” Papa bertanya, mengÂambilkoran pagi. ”Papa tahu tidak, tarif air PAM sekarang naik dua kali lipat?” Mamalebih dulu memotong, berseru soal lain. Tangannya cekatanmeÂmindahkan omelet ke atas piring. ”Oh ya?” Papa yang mulai membuka koran pagi mengangkat wajah. ”Itu artinya Papa jangan mandi lama-lama,” aku menyikut Papa,berbisik pelan, membantu menjelaskan maksud celetukan Mama. Papa ber-oh sebentar, tertawa, mengedipkan mata, pura-puramengernyit tidak bersalah. ”Siapa sih yang mandi lama-lama?” ”Memang selalu susah mengajak kalian bicara serius. SudahÂlah,mari kita sarapan,” Mama melotot, memotong kalimat Papa lagi, menarikkursi. Semua hidangan sarapan sudah tersedia di atas meja. ”Kamu mausarapan apa, Ra?” ”Omelet terlezat sedunia, Ma. Minumnya segelas susu ini,” akumenunjuk. Mama tertawa yang segera membuat wajah segarnya kemÂbali. ”Nah, Papa mau apa?” ”Roti panggang penuh cinta,” Papa nyengir, meniru teladanÂku. ”Jangan gombal.” Mama melotot, meski di separuh wajahnyaterÂsungging senyum. ”Siapa yang gombal? Sekalian jus jeruk penuh kasih sayang.” Aku tertawa. ”Tentu saja gombal, Pa. Jelas-jelas itu hanya roti danjus jeruk.” “Bumi” 7 Mama tidak berkomentar, menuangkan jus jeruk, ikut tertawa,sedikit tersipu. Lantas Mama mengambil sisa makanan yang belumdiambil, meraih sendok dan garpu. Kami mulai sibuk dengan menumasing-masing. ”Kita sepertinya harus mengganti mesin cuci,” Mama bicara di selamulut mengunyah. Papa menelan roti. ”Eh, sekarang rusak apanya?” ”Pengeringnya rusak, tidak bisa diisi penuh. Kadang malah tidakbergerak sama sekali. Tadi sudah diotak-atik. Mama menyerah, Pa. Belibaru saja.” Aku terus menghabiskan omelet, tidak ikut sarapan pagi ini sudah dipilih. Mesin cuci. Itu lebih baik—daripada Mama tiba-tiba bertanya tentang sekolah baruÂku, bertanya ini,bertanya itu, menyelidik ini, menyelidik itu, lantas membacakan sepuluhperaturan paling penting di keluarga kami. ”Mau Papa temani ke toko elektronik nanti malam?” Dua-tiga menit berlalu, mesin cuci masih jadi trending topic. ”Tidak usah. Nanti sore Mama bisa pergi sendiri. Sekalian menguruskeperluan lain. Paling minta ditemani Ra. Eh, Ra mau menemani Mama,kan?” Papa mengangguk takzim. Mama memang selalu bisa diandalÂkan—tadi waktu bilang sudah diotak-atik, itu bahkan berarti Mama sudahberprofesi setengah montir amatir. Aku juga mengÂangguk sekilas, asyikmengunyah ”omelet terlezat sedunia”. Ponsel Papa tiba-tiba bergetar, menghentikan sarapan. Papa menyambar ponselnya, melihat sekilas nama di layar. Aku danMama bertatapan. ”Ya, halo.” Papa bicara sejenak, lantas menjawab pendek-penÂdek,ya, oke, baik, ya, oke, baik. Papa meletakkan ponsel sambil menghelanapas panjang. “Bumi” 8 ”Papa minta maaf, sepertinya lagi-lagi tidak bisa menghabiskansarapan bersama. Tiga puluh menit lagi Papa harus segera ada di Direktur memanggil.” Tuan Direktur? Aku menepuk jidat. Selalu begitu. Papa tertawa. ”Ayolah, Papa harus bergegas, Ra. Papa janji, Ma,gantinya kita makan malam bersama nanti.” Mama menghela napas tipis. Kecewa. Baik. Sepertinya aku juga harus menyudahi sarapanku yang belumsepertiga nasibku sama dengan banyak remaja lain, haÂrus berangkat kesekolah bersama orangtua. Mereka buru-buru, maka aku ikut telat, aku juga ikut telat. Aku meletakkan sendok, beranjakberdiri, lantas berlari naik ke kamar, mengambil tas dan keperluansekolah. ”Jangan lupa sarapan lagi di kantor, Pa.” ”Tentu saja. Bila perlu, Papa akan sarapan sambil rapat denganTuan Direktur. Itu pasti akan menarik.” Papa mengedipÂkan mata,bergurau. Mama melotot. Papa buru-buru memperbaiki ekspresi wajah. ”Papatidak akan lupa, Ma. Peraturan ketujuh keluarga kita sarapan selalupenting.” Papa meniru gayaku, tangan hormat di dahi. Mama tersenyum. Papa memang sedang berada di titik paling penting karierpekerjaannya—setidaknya demikian kalau Papa menjelaskan kenapa diaharus pulang larut malam, kenapa dia harus bergegas pagi-pagi sekali.”Papa harus berhasil melewati fase ini dengan baik, Ra. Sekali Papaberhasil memenangkan hati pemilik perÂusahaan, karier Papa akanmelesat cepat. Posisi lebih baik, gaji lebih tinggi. Keluarga kita haruskompak mendukung, termasuk kamu. Toh pada akhirnya kamu juga yangdiuntungkan. Mau liburan ke mana? Mau beli apa? Semua beres.” Aku hanya bisa mengÂangguk, setengah paham soal jalan-jalanatau belanja, seÂtengah tidak soal memenangkan hati pemilikperusahaan. “Bumi” 9 ”Dasi Papa miring.” Mama menunjuk, beranjak mendekat,memperbaiki. ”Terima kasih.” Papa tersenyum, melirik pergelangan tangan.”Celemek Mama juga miring.” Papa ikut memperbaiki, meski sekali lagimelirik pergelangan tangan. ”Jangan pulang larut malam, Pa.” ”Mama lupa ya? Kan tadi Papa bilang nanti malam kita makanmalam bersama. Spesial. Tidak akan terlambat.” Papa menÂdongak.”Alangkah lamanya anak itu mengambil tas seÂkoÂlah.” ”Tentu saja.” ”Tentu saja apanya?” ”Tentu saja Ra lama. Meniru siapa lagi? Selalu lama melakuÂkansesuatu, dan terbirit-birit panik kalau sudah kehabisan waktu.” Mamatersenyum simpul. ”Oh, itu entahlah meniru siapa.” Papa pura-pura tidak meÂngerti,sambil ketiga kalinya melirik jam tangan. ”Yang Papa tahu, anak itucantiknya meniru siapa.” Mama tersipu. Mereka berdua tertawa. Papa melihat jamnya lagi, mengeluh. ”Lima menit? Lama sekalianak itu mengambil…” ”Ra sudah selesai dari tadi kok.” Aku nyengir, menurunkan telapaktangan. ”Eh? Ra?” Papa berseru kecil, hampir terlonjak melihatku tiba-tibasudah berdiri di anak tangga terakhir. ”Bagaimana kamu sudah ada disana? Kamu selalu saja mengejutkan orangÂtua.” Papa bersungut-sungut,meski sungutnya lebih karena dia harus bergegas. ”Jangan menggoda papamu, Ra. Dia selalu saja tidakmemÂperÂhatikan. Sejak kamu kecil malah.” Sekarang giliran Mama yangmenggunakan kalimat itu, tersenyum. “Bumi” 10 Aku tersenyum tanggung membalas senyum Mama. Itu juga menjadi penjelasan sederhana Mama atas keanehankeluarga kami sejak usiaku dua puluh dua bulan. Sejak perÂmainÂanpetak umpet. Sesimpel itu. Papa tidak memperhatikan sekitar denganbaik. Padahal, kalau aku lagi bosan, tidak mau dilihat siapa pun, atausedang iseng, aku tinggal menutupi wajah dengan kedua telapak tangan,menghilang. Seperti pagi ini, aku iseng ingin melihat percakapan akraborangtuaku. Sudah sejak tadi aku turun mengambil tas, berdiri di anaktangga paling bawah deÂngan kedua telapak tangan menutupi wajah,mengintip wajah meÂreka yang saling tersipu. Baik dulu maupunsekarang, itu selalu seru. ”Ayo berangkat.” Papa berjalan lebih dulu. Aku mengangguk. ”Jangan lupa sarapan lagi di sekolah, Ra.” ”Ra tidak akan lupa, Ma. Peraturan ketujuh keluarga kita sarapanselalu penting.” Aku mengangkat tangan, hormat. Mama mengacak poni rambutku. Lima menit kemudian, mobil yang Papa kemudikan sudah melesatdi jalanan. Pagi itu aku sungguh tidak tahu, setelah sarapan bersamayang selalu menyenangkan, beberapa jam lagi, kejutan itu tiba. Ada yangtahu rahasia besarku, bukan hanya satu, melainkan kehidupanku mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Perang besar siap meletus di Bumi. Aku tidak bergurau. “Bumi” 11 ERIMIS turun sepanjang perjalanan menuju sekolah. Papamengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air. Akumenatap jalanan basah dari balik jendela. Aku selalu suka butiran air jatuh, itu selalu menyenangkan. ”Kamu nanti pulang sore?” Papa bertanya, tangannya menekanklakson, ada angkutan umum mengetem sembarangan, mengÂhambat lalulintas pagi yang mulai macet di depan. ”Tidak ada les, Pa. Ra langsung pulang dari sekolah,” akumenÂjawab tanpa menoleh, tetap menatap langit gelap. ”Oh. Berarti kamu bisa ya, menemani Mama ke toko elektronik?” Aku mengangguk. Tanganku menyentuh jendela mobil. Dingin. ”Mesin cuci itu. Kamu pernah memikirkannya, Ra?” Papa sepertinyamasih tertarik dengan percakapan di meja makan tadi. Ia menekanklakson, menyuruh dua motor di depan yang sembarangan menyelip ditengah kemacetan agar menyingkir. ”Ya?” Aku ikut menatap ke depan. ”Usianya sudah lima tahun, bukan?” Papa tertawa kecil,memÂbayangkan sekaligus berhitung. ”Ya?” ”Kamu tahu, kalau setiap hari mesin cuci itu mencuci pakaiansebanyak dua puluh potong, maka selama lima tahun, itu berarti lebihdari potong pernah dicucinya, hingga akhirnya rusak, mintadiganti. Hebat, bukan?” Aku mengangguk pelan, menatap halte yang baru saja kami lima-enam anak sekolah sepertiku sedang menunggu angkutanumum dan beberapa pekerja kantoran. Lampu kendaraÂan menyala, “Bumi” 12kedip-kedip. Beberapa pedagang asongan berdiri dan seorang pengamenmembiarkan gitarnya tersampir di punÂdak. Pemandangan yang biasasebenarnya, tapi hujan gerimis membuat suasana terlihat berbeda. ”Konsisten. Eh, bukan, persisten maksud Papa. Ya, itu kata yanglebih tepat. Kamu tahu, Ra, persisten membuat kita bisa melakukan halhebat tanpa disadari. Seperti mesin cuci itu. Sedikit setiap harinya, tapidalam waktu lama, tetap saja hebat hasilnya. Coba kamu potong pakaian, itu lebih banyak dibanding koleksi seluruhdepartment store besar.” Papa tertawa lagi. Aku mengangguk. Aku tahu kebiasaan keluarga kami. Papa selalusuka ”menasihatiku” dengan caranya sendiri. Seperti mengajak bicara halunik pada pagi yang basah menuju sekolah ini. Mungkin orangtuakebanyakan lainnya juga seperti itu. Selalu merasa penting mengajakanak-anak remajanya bicara seÂsuatu, menasihati, dan berharap kalimat-kalimat itu bekerja baik—meskipun hanya urusan mesin cuci. Terlepasdari kesibukÂannya—juga topik pembicaraan yang kadang tidakmeÂnyambung dengan situasi—bagiku Papa menyenangkan. Dia seÂlaluada saat aku butuh seorang papa. ”Dan satu lagi, Ra. Urusan mesin cuci ini masih punya satu lagiyang hebat.” ”Oh ya?” Aku memperhatikan wajah Papa yang riang. ”Coba kamu hitung. Jika setiap hari Mama mencuci lima potongpakaianmu, maka selama lima belas tahun terakhir, diÂhitung sejak kamubayi, itu jumlahnya sekitar, eh, potong lebih. Atau, untuk Papa,tujuh belas tahun sejak menikah, angkaÂnya lebih banyak lagi. potong. Papa lebih banyak ganti baju, bukan? Total potonglebih. Untung saja Mama tidak menarik uang laundry ke kita ya, Ra?Kalau satu potong Mama tarik seribu perak saja, wuih, banyak sekalitagihÂannya.” Papa tertawa. Aku ikut tertawa, mengangguk. Pembicaraan mesin cuci ini terus menjadi trending topic hinggamobil yang dikemudikan Papa tiba di depan gerbang sekolah. Gerimismenderas, para siswa yang satu sekolah denganku berÂhamburan turun “Bumi” 13dari angkutan umum, mobil pribadi, motor, atau jalan kaki. Merekabergegas masuk menuju bangunan yang kering. ”Kamu bawa saja payungnya, Ra.” Papa menoleh, menunjuk kebelakang. ”Tenang saja, di kantor nanti Papa bisa minta tolong satpammemÂbawakan payung ke parkiran. Atau menyuruh siapalah untukmeÂmarkirkan mobil.” Papa seakan mengerti apa yang kupikirÂkan. Tanpa banyak bicara, aku meraih payung di belakang kursi,mencium tangan Papa, membuka pintu mobil, lalu beranjak turun.”Dadah, Papa!” ”Dadah, Ra!” Aku menutup pintu mobil. Dua detik kemudian, mobil Papa kembalimasuk ke jalanan. Petir menyambar selintas, disusul gemuruh guntur memenuhilangit. Aku mendongak, sengaja belum mengembangkan payung. Awanhitam terlihat memenuhi atas kepala sejauh mata me terlihat begitu suram. Terlihat sepertimenyembunyikan sesuatu. Entahlah. Aku selalu suka hujan. Semakinlebat, semakin seru. Aku membayangkan awan-awan gelap itu dan berdiridi antaranya. Dulu waktu usiaku masih empat-lima tahun, setiap kali hujan akuselalu memaksa bermain di halaman. Sesekali Mama mengizinkan malahmenawari. Itu permainan kedua yang kukenal, setelah petak umpet yangberakhir membosankan. Aku berlari melintasi rumput yang basah,menggoyang dahan pohon mangga yang menjatuhkan airnya dari daun,menduduki lumpur, meÂlempar sesuatu, menendang sesuatu, dan tertawagembira. Itu selalu seru. Sayangnya, Mama memiliki definisi ketat soal main hujan-hujanan.”Masuk, Ra, sudah setengah jam. Cukup.” Aku menggeleng, tidak mau.”Ra, tanganmu sudah biru kedinginan. Masuk. Besok kan bisa lagi.”Mama melotot—Papa mengamini, juga menyuruhku masuk. Aku kalahsuara, dua banding satu. Aku merengut, terpaksa menerima uluranhanduk kering. Atau, ”Aduh, Ra, kan baru kemarin kamu main hujan-hujanan?” Mama menggeleng tegas. ”Sebentar saja, Ma. Kan kata Mama “Bumi” 14besok bisa main lagi,” kilahku. Mama tetap menggeleng. ”Lima menit?”Tidak. ”Tiga menit?” Tidak. Seberapa pun aku merajuk, meÂnangis,jawaban Mama tetap tidak Papa mengamini. Aku kalah suara lagi,dikurung dalam rumah. Usiaku baru empat-lima tahun. Rambutku masih tampak lucudikepang dua oleh Mama. Aku hanya bisa protes dalam hati, bukanÂkahkemarin-kemarin Mama yang menyuruhku main hujan-hujanan, kenapajadinya sekarang dibatasi banyak peraturÂan? Karena itu, rasanya senangsekali saat aku dapat izin bermain hujan-hujanÂan. Aku berlari ke sanakemari dan memÂbujuk dua kucingku agar ikut bermain air kucingkumengeong panik, lari masuk ke dalam rumah. Aku tertawa, membiarkantubuhku kotor oleh lumpur. Akhirnya setelah lelah, aku duduk dihalaman, mendongak menatap langit gelap. Awan hitam. AkumemÂbayangkan apa yang sedang berkecamuk di awan-awan itu. Tetes air hujan deras menerpa wajahku. Aku meletakkan telapaktanganku, berusaha melindungi mata. Saat itu aku belum tahu, masihterlalu kecil. Tepat saat telapak tanganku melindungi wajah, seluruhtubuhku hilang begitu saja. Tubuhku menjadi lebih bening dibandingkristal air, menjadi lebih transparan diÂbanding tetes air. Aku asyikmendongak menatap langit, belum meÂnyadari bahwa jutaan tetes airhujan itu hanya melewati tubuhÂku, tidak pecah saat mengenai wajah. Inimain hujan yang meÂnyenangkan, melamun menatap langit langsung dibawah tetes air dan yang lebih penting lagi, setiap kali aku dudukberÂsimpuh di rumput halaman, mendongak melindungi wajah deÂngantelapak tangan, entah bagaimana caranya, aku bisa bermain hujan lebihlama. Mama di dalam rumah hanya sibuk mengomel mencariku, bukanmeneriakiku agar bergegas masuk. ”Pagi, Ra,” Seli, teman satu mejaku, berseru membuyarkanlamunanku. Kepalaku yang mendongak menoleh. ”Kenapa kamu bengong di sini, Ra?” Seli tertawa riang. Dia baruturun dari mobil yang mengantarnya, mengembangkan payung berwarnapink. “Bumi” 15 ”Eh, tidak apa-apa. Pagi juga, Sel.” Aku menyeka wajah yang basaholeh gerimis. ”Cepat, Ra, sebentar lagi bel.” Seli sudah berlari-lari kecil melintasigerbang sekolah. Aku mengembangkan payungku, menyusul langkah Seli,meÂnyejajarinya. ”Kamu sudah mengerjakan PR dari Miss Keriting?” Seli meÂnoleh,wajahnya seperti sedang membayangkan sebuah bencana jika akumenjawab tidak. Aku tertawa. ”Sudah dong.” ”Oh, syukurlah.” Seli ikut menghela napas lega. ”Aku baru tadisubuh menyelesaikannya. Semalam aku lupa kalau ada PR, malah asyiknonton serial Korea. Miss Keriting bisa mengamuk kalau ada yang tidakmengerjakan PR-nya lagi. Iya kalau cuma dimarahi, kalau disuruh berdiridi dekat papan tulis selama pelajaran? Itu memalukan, bukan?” Aku tidak berkomentar, menguncupkan payung. Kami sudah tiba dibangunan sekolah, melangkah ke lorong, menuju anak tangga. Kelassepuluh terletak di lantai dua bangunan sekolah. Bel berdering persis saatkami hendak naik tangga, memÂbuyarÂkan dengung suara keramaiananak-anak bercampur suara geÂrimis. Sialnya, saat bergegas menaikianak tangga, Seli berÂtabrakÂan dengan teman lain yang juga bergegas. ”Heh, lihat-lihat dong!” Seli berseru ketus. ”Kamu yang seharusnya lihat!” yang ditabrak balas berseru ketus. ”Jelas-jelas kami duluan. Sabar sedikit kenapa?” Seli melotot. ”Duluan dari mana? Aku lebih cepat.” ”Semua orang juga tahu kamu yang menabrak dari belakang!” suaraSeli melengking. Aku menyikut Seli, memberi kode, cueki saja. Pertama, kaÂrenasudah bel, teman-teman lain juga terhambat naik, berdiri menonton di “Bumi” 16lorong lantai satu. Kedua, yang lebih penting lagi, kami tidak akanmerusak mood pagi yang menyenangkan dengan berÂtengkar dengan Aliteman satu kelas yang terkenal sekali suka mencari masalah. Lihatlah, Alihanya cengar-cengir, tidak peduli. Dia sejenak menatap Seli, lantasbergegas menaiki sisa anak tangga. Dia sama sekali tidak merasabersalah. ”Dia selalu saja menabrak orang lain, mengajak bertengkar. Jangan-jangan matanya ditaruh di dengkul,” Seli mengomel pelan, menepuklengannya yang terhantam dinding, beranjak ikut naik tangga. Keributan di anak tangga mencair. Guru-guru sudah keluar dariruang guru, menuju kelas masing-masing. Tidak ada yang ingin terlambatsaat pelajaran dimulai. ”Kayaknya sih Ali matanya bukan di dengkul, Sel,” aku berbisik,menahan tawa. ”Memangnya di mana?” ”Di pantat kayaknya.” Seli menatapku sejenak, lantas ikut tertawa. Kami berlari-larimelintasi lorong lantai dua, segera masuk kelas, mencari meja. Anak-anaklain sudah membongkar tas. Ali yang duduk di pojokan terlihatmenggaruk kepala. Seperti biasa, kemeja seÂragamÂnya berantakan,dimasukkan separuh. Aku hanya melihat selintas—paling juga si biangkerok itu sedang mencari buku PR-nya. Suara sepatu Miss Keriting terdengar bahkan sebelum dia tiba dipintu kelas. Dalam satu bulan, semua murid baru sekolah ini tahu dialahguru paling galak di sekolah. Wajahnya jarang tersenyum, suaranya tegas,dan hukumannya selalu memÂbuat murid merasa malu. Aku sebenarnyatidak punya masalah dengan guru galak, tapi itu tetap bukan kabar baikbagiku, karena Miss Keriting mengajar matematika, pelajaran yang tidakterlalu kukuasai. ”Pagi, anak-anak,” Miss Keriting memecah suara hujan. Kami menjawab salam. “Bumi” 17 ”Keluarkan buku PR kalian. Sekarang.” Kalimat standar pembukapelajaran Miss Keriting. Kelas bising sejenak, teman-teman sibuk mengambil buku PR. Akuseketika tertegun. Di mana buku PR matematikaku? Aduh, ini sepertinyaakan menjadi pagi yang buruk. Aku meÂnumpahkan buku dari dalam tas. ”Ada apa, Ra?” Seli bertanya. Aku tidak menjawab, berpikir cepat. Buku PR itu tertinggal dikamar. Aku menyeka dahi, gerah. Aku ingat sekali tadi malam sudahmengerjakan PR itu, meletakkan buku PR di atas meja. Tadi pagi, saatPapa memintaku buru-buru berangkat, aku lupa memasukkannya. ”Yang tidak mengerjakan PR, sukarela maju ke depan, sebelum Ibuperiksa.” Suara tegas Miss Keriting membuatku mengÂhela napastertahan. ”Ayo, maju. Sekarang!” Miss Keriting menyapu wajah-wajah kami. Aku menggigit bibir. Mau apa lagi? Aku melangkah ke deÂpan. ”Ra?” Seli menatapku bingung. Aku tidak menjawab, terus melangkah ke depan di bawah tatapanteman-teman. ”Kamu tidak mengerjakan PR, Ra?” Miss Keriting menatapku tajam. ”Saya mengerjakan PR, Bu.” ”Lantas kenapa kamu maju ke depan?” ”Saya lupa membawa bukunya.” Teman-teman tertawa. Satu-dua menepuk meja, lalu terdiam saatMiss Keriting mengangkat tangan. Miss Keriting menatapku lamat-lamat. ”Itu sama saja dengan tidakmengerjakan PR. Dengan amat menyesal, kamu terpaksa Ibu keluarkandari kelas. Kamu menunggu di lorong selama pelajaran Suara Miss Keriting sebenarnya tidak menunjukkan intonasi “Bumi” 18”menyesal”, karena sedetik kemudian, saat aku mengangguk pelan, diakemÂbali sibuk menatap teman-teman lain, tidak peduli, memÂbiarÂkankuberanjak gontai ke bingkai pintu kelas. Petir menyambar terang. Suara guntur mulai terdengarmengÂgelegar. Hujan turun semakin deras. Udara terasa lebih dingin danlembap. Aku melangkah malas, mencari lokasi menunggu yang baik dilorong. Nasib, aku menghela napas sebal. Padahal aku sudah susahpayah mengerjakan PR itu. Aku melirik jam di pergelangan tangan, masihdua jam lima belas menit hingga pelajaran Miss Keriting usai. Sendirian dilorong yang tempias, basah. Itu bukan hukuman yang menyenangkanmeski dibandingkan berdiri di depan kelas ditonton teman-teman. Aku mendongak menatap langit. Petir untuk kesekian kalimenyambar, membuat gumpalan awan hitam terlihat memerahsepersekian detik, seperti ada gumpalan api memenuhi awan-awan hitamitu. Guntur bergemuruh membuat ngilu telinga. Aku menghela napas,suasana hujan pagi ini terlihat berbeda sekali. Lebih kelam daripadabiasanya. Ternyata kabar buruk itu belum berakhir. Diiringi sorakan ramaiteman sekelas, Ali juga dikeluarkan Miss Keriting. Ali bertahan beberapamenit, mengaku sudah mengerjakan PR, tapi belum selesai. Diamemperlihatkan bukunya yang hanya berisi separuh halaman. MissKeriting tanpa ampun juga ”mengusirnya”. Aku mengeluh melihat Alimelangkah keluar kelas, hendak bergabung di lorong lantai dua yanglengang. Kenapa pula aku harus menghabiskan dua jam bersamanya dilorong? Aku meÂnyeka dahi yang berkeringat—yang membuatkumelupakan sesuatu, kenapa aku terus berkeringat sejak tadi, padahaldingin udara terasa mencekam. Sial. Aku tidak akan menghabiskan waktu bersama si biang kerokitu. Itu situasi yang tidak menarik, menyebalkan malah. Baiklah,seÂbelum Ali melihatku, aku memutuskan mengangkat kedua telapaktanganku, meletakkannya di wajah. Petir mendadak menyambar terang sekali, membuatku terperanjat,mendongak ke atas—meski tidak mengurungkan gerakÂan tanganku “Bumi” 19menutup mata. Suara guntur terdengar membahana, panjang dan deras mulai disertai angin kencang, membuat bendera di lapangansekolah berkelepak laksana hendak robek. Tubuhku segera menghilangsempurna saat telapak tanganku menutupi wajah. Ali melangkah di lorong. Aku melihatnya dari sela jari,memÂperÂhatikan wajahnya yang tidak peduli menatap sekitar mungÂkinsedang mencariku. Ali menyeka rambutnya yang berantakan. Diamengomel sendirian, melintasiku. ”Dasar guru sok galak. Tidak tahu apa,tambah keriting saja rambutnya setiap kali dia marah-marah.” Akumenahan tawa melihat tampang sebal anak lelaki itu. Aku hendak isengmenambahi kesalnya dengan mengait kakinya. ”Halo, Gadis Kecil.” Suara dingin itu lebih dulu mengagetkanku. Petir menyambarterang sekali. Sosok tinggi kurus itu entah dari mana datangnya telahberdiri di depanku. Matanya menatap memesona. “Bumi” 20 EMI mendengar sapaan suara dingin itu dan menatap sosokkurus tinggi yang entah dari mana datangnya tiba-tiba telah berdiri persisdi depanku—aku berseru tertahan, kaget, kehilangan keseimbangan,refleks berusaha meraih pegangan di dinding kelas. Saat telapaktanganku terlepas dari wajah, tubuhku otomatis kembali itu cepat sekali. Saat aku berhasil menyeimbangkan tubuh,mendongak, kembali menatap ke depan, memastikan siapa yang tiba-tibamenyapaku, sosok tinggi kurus itu telah lenyap, meÂnyisaÂkan hujanderas sejauh mata memandang. Angin kencang memÂbuat bendera dilapangan sekolah berkelepak. Tempias air meÂngenai lorong lantai duatepercik ke wajahku yang setengah pucat. Jantungku berdetak kencang. Astaga, aku yakin sekali melihatsosok itu. Wajahnya yang tirus dan senyumnya yang tipis, bahÂkan akuingat sekali bola matanya yang hitam memesona. Ke manakah diasekarang? Mataku menyapu sepanjang lorong, memastikan, memeriksasemua kemungkinan. Aku hendak berÂanjak mendekati tepi lorong, tidakpeduli tempias lebih banyak mengenai seragam sekolahku. ”Hei, Ra, apa yang barusan kamu lakukan!” Seruan Ali membuatkakiku berhenti. Aku menoleh, baru menyadari bahwa Ali berdiri pucat dibelakangku, menatapku yang kuyakin juga pucat. Bedanya, ekspresiwajah Ali seakan baru saja melihat sesuatu yang menarik ekspresi wajahku pasti sebaliknya. ”Bagaimana caranya kamu tiba-tiba muncul di sini?” Ali mendekat,wajahnya menyelidik. Aku mengeluh dalam hati, melangkah mundur ke dinding pula urusan ini harus terjadi dalam waktu berÂsamaan? Kenapapula si biang kerok ini ada di sini saat aku masih penasaran setengah “Bumi” 21mati siapa sosok tinggi kurus tadi? Aku bahkan sempat berpikir, jangan-jangan sosok itu hanya bisa kulihat jika aku menangkupkan keduatelapak taÂngan ke wajah. Aku hendak bergegas kembali menutup matasebelum sosok itu pergi, tapi itu tidak mungkin kulakukan dengantatapÂan mata Ali yang penuh rasa ingin tahu. ”Apa yang kamu lakukan barusan, Ra?” Ali bahkan sekarangmenyelidik seluruh tubuhku. ”Aku yakin sekali, kamu tadi tidak ada disini. Lorong ini kosong. Kamu tiba-tiba muncul di sini. Iya, kan? Inimenarik sekali.” ”Apanya yang menarik?” Aku membalas tatapan menyelidik Ali,pura-pura tidak mengerti. ”Kamu jangan pura-pura tidak mengerti, Ra,” Ali tidak mudahpercaya. ”Aku dari tadi memang di sini. Apanya yang pura-pura?” akuakhirnya berseru ketus. ”Kamu tidak bisa membohongiku.” Ali nyengir lebar. ”Aku meÂmangpemalas, tapi aku tidak bodoh. Bahkan sebenarnya, kamu tahu, sebagiankecil para pemalas di dunia ini adalah orang-orang genius. Aku yakinseratus persen kamu tadi tidak ada di sana. Tidak ada siapa pun dilorong. Lantas petir meÂnyambar, kamu tiba-tiba ada di sana. Tiba-tibamuncul. Aku yakin sekali.” Aku mengeluh dalam hati, masih berusaha membalas tatapan Alidengan pura-pura tidak paham. Urusan ini bisa panjang. Ali benar. Diamemang terlihat pemalas, urakan, suka bertengkar, tapi dalam pelajarantertentu dia bisa membuat guru-guru terÂdiam hanya karena pertanyaanmasa bodohnya. ”Bagaimana kamu melakukannya?” ”Aku tidak melakukan apa pun.” ”Kamu jangan bohong, Ra.” Ali menatapku seperti sedang menatapanak kecil yang tertangkap basah mencuri permen tidak bisa menghindar. “Bumi” 22 ”Siapa yang berbohong!” aku berseru ketus sebenarnya separuhsuaraku terdengar cemas. ”Ali! Ra!” Suara tegas Miss Keriting menyelamatkanku. Kami serempak menoleh. ”Suara percakapan superpenting kalian mengganggu pelajaran.”Miss Keriting melotot, berdiri di bawah bingkai pintu kelas, tangannyamemegang penggaris kayu panjang. ”Sekali lagi kalian bercakap-cakapterlalu kencang, Ibu kirim kalian ke ruang BP, dan semoga ada yangmenyelamatkan kalian dari pemanggilan orangtua ke sekolah.” Mulut Ali yang hendak mencecarku dengan banyak pertanyaÂanterpaksa bungkam. Dia menunduk, mengusap-usap rambutÂnya yangberantakan. Aku juga menunduk. ”Benar-benar brilian. Sudah tidak membuat PR, berteriak-teriakpula di lorong kelas. Pasangan paling serasi pagi ini.” Miss Keritingkembali masuk setelah memastikan kami diam beberapa detik. Teman-teman sekelas yang ikut melihat ke luar tertawa ramai, lalu diam kembalisaat Miss Keriting menunjuk papan tulis. Suara Miss Keriting terdengar samar di antara suara hujan derasyang mengguyur sekolah. Aku masih penasaran siapa sosok tinggi kurusyang tiba-tiba muncul di depanku tadi. Aku memeÂriksa sekitar, berusahamengabaikan Ali yang terus menatapku. Tidak ada. Sosok itu benar-benarsudah pergi. Mungkin aku bisa pura-pura ke toilet sebentar, meninggalkan Ali,menutup wajah di sana, lantas berjalan kembali ke lorong lantai begitu aku bisa mencari sosok tinggi kurus itu, sekaligus jugabisa menghilang dari si biang kerok ini. Tetapi itu ide buruk. Ali yangpenasaran, bahkan sangat peÂnasaran, pasti akan mengikuti ke manapun aku pergi, dan dia bisa mengacaukan banyak hal. Miss Keriting,dengan kejadian ribut barusan, bisa kapan pun memeriksa lorong lantaidua lagi, memastikan kami patuh pada hukumannya. Aku mendongak, menatap siluet petir yang kembali guntur bergemuruh. Sepertinya pagi ini aku benar-benar akan “Bumi” 23menghabiskan dua jam bersama biang kerok ini. Baiklah, akumemutuskan duduk bersandar di dinding kelas, berusaha lebih santai,menghela napas pelan. ”Hei, Ra?” Ali berbisik. Aku melirik dengan ujung mata, dia ternyata ikut duduk, tigalangkah dariku. ”Kamu bisa menghilang, ya?” Ali berbisik lagi, berusaha tidakmemÂbuat keributan baru, matanya berbinar oleh rasa ingin tahu. Aku mengabaikan Ali, kembali menatap hujan. ”Ini hebat, Ra. Dari dulu aku selalu yakin ada orang yang bisamelakukan itu. Tidak hanya di film-film.” Ali bahkan tidak merasa perlumenunggu jawabanku. ”Kamu gila,” aku kembali menoleh, melotot, balas berbisik. ”Apanya yang gila?” ”Tidak ada yang bisa menghilang.” ”Banyak yang bisa menghilang, Ra. Banyak yang tidak terlihat olehmata, tapi sebenarnya ada.” Ali mengangkat bahu. ”Tidak ada yang tidak terlihat oleh mata,” aku bersikukuh, mulaisebal. ”Kecuali yang kamu maksudkan hantu-hantu, cerita-cerita seramitu.” ”Kata siapa tidak ada?” Ali nyengir. ”Dan jelas maksudku bukanhantu-hantu itu. Coba, lihat.” Tangan Ali menggapai ke depan. ”Setiaphari, setiap detik, kita selalu hidup dengan sesuatu yang tidak terlihatoleh mata. Udara. Kamu bernapas dengannya, tanpa pernah berpikirseperti apa wujud asli udara. Apakah udara seperti kabut? Seperti uap?Apa itu oksigen? Bentuknya seperti apa? Kotak? Lonjong?” Aku mengeluh pelan, semua orang juga tahu, Ali pendebat yangbaik. “Bumi” 24 ”Bahkan, kamu tidak perlu jadi setipis udara untuk tidak terÂlihat.”Ali menatapku antusias, merapikan rambut berantakan yang mengenaiujung mata. ”Jika kamu terlalu kecil atau sebalikÂnya terlalu besar dariyang melihat, kamu bisa menghilang dalam definisi yang berbeda. Semut,misalnya, kamu coba saja lihat semut yang ada di lapangan sekolah darilantai dua ini, dia mengÂhilang karena terlalu kecil untuk Bumi, misalnya, karena bola Bumi terlalu besar, tidak adayang bisa melihatnya benar-benar mengambang mengitari matahari. Kitahanya tahu dia mengambang lewat gambar, televisi, tapi tidak pernahmelihat dengan mata kepala sendiri. Tidak terlihat dalam definisi lain.” ”Sok tahu,” aku berbisik ketus. Ali hanya tertawa pelan, tidak tersinggung seperti biasanya tepatnyatidak tertarik bertengkar seperti biasanya. ”Aku tahu sekali, Ra. membaca lebih banyak dibanding siapa pun di sekolah ini. TermasukMiss Keriting dengan semua PR menyebalkannya. Pelajaran matematikapenting katanya, puh, itu mudah saja. Bahkan kalau sekarang masih disekolah dasar, aku bisa mengerjakan PR itu. Kamu sungguhan bisamenghilang ya, Ra?” Aku hampir berseru jengkel bilang tidak, tapi itu bisa meÂmancingMiss Keriting keluar. Aku segera menurunkan volume suara, menjawabdatar. ”T-i-d-a-k.” ”Kamu justru sedang menjawab sebaliknya, Ra. Iya, kamu bisamenghilang.” Ali mengepalkan tangannya, bersorak dengan bahasa tubuh.”Terima kasih, Ra. Itu berarti aku tidak seaneh yang sering orangtuakukatakan.” Aku mengembuskan napas sebal. Sudah kujawab tidak, Ali tetapmenganggap aku menjawab iya. Aku kembali menatap hujan, memutuskan menyerah meÂnanggapirasa ingin tahu Ali. Aku sepertinya telah keliru, bukan hanya dua jampagi ini saja akan menghabiskan waktu bersama si biang kerok seharian ini, bahkan besok-besokÂnya lagi, dia akan terustertarik mengikutiku, meÂmastikan. “Bumi” 25 Hujan deras terus mengguyur sekolah, Seli dan teman-teman yanglain pasti sedang pusing mengikuti pelajaran Miss Keriting di dalam kelasyang kering, sama pusingnya dengan aku menghadapi Ali di lorong yangtempias basah. “Bumi” 26 ASANGAN serasi.” Seli memajukan bibir, menahan tawa. Aku tidak menanggapi, hanya mengangkat sedotan dari gelas. Awassaja kalau keterusan, akan aku lempar dengan sedotan ini. ”Bercanda, Ra.” Wajah Seli memerah, separuh karena kepedasan,separuh masih menahan tawa. ”Miss Keriting memang sok galak,menyebalkan, banyak ngasih PR, tapi itu yang aku suka darinya. Diaselalu telak menyindir orang. Pasangan paling serasi pagi ini. Hehehe. Eh,lagian kenapa pula kalian harus berteriak-teriak di lorong, membuatsemua teman sekelas menoleh ingin tahu,” Seli membela diri, berusahaberlindung dari lemparan sedotan. Bel istirahat pertama sudah bernyanyi lima menit lalu. Hujan derassudah reda, menyisakan rintik kecil yang bisa dilewati tanpa terlalumembuat basah. Udara dingin dan lembap. Seli mengajakku ke kantin,menghabiskan semangkuk bakso dan segelas air jeruk hangat, pilihanyang baik dalam suasana seÂperti ini. Seli bilang dia yang traktir. Akuawalnya tidak terÂtarik. SeÂtelah dua jam lebih saling ngototmenghabiskan waktu bersama Ali, yang membuat mood-Âku hilang, akusebenarnya lebih tertarik menghabiskan waktu sendirian di kelas, dudukdi kursi, meÂmikirkan siapa si tinggi kurus itu. Apakah itu hanyaimajinasiku karena belasan tahun menyimpan rahasia? Tetapi melirikgelagat Ali yang juga akan ikut menghabiskan waktu di kelas,menyeÂlidikiku, aku menerima tawaran Seli. ”Kalian sebenarnya membicarakan apa sih? Sampai bertengkarbegitu?” Sayangnya Seli yang sambil ber-hah kepedasan mengÂhabiskansemangkuk baksonya seperti kehabisan ide percakapan selain tentangkejadian di lorong kelas. ”Tidak membicarakan apa pun.” Aku malas menanggapi. ”Masa iya?” Seli menyelidik. ”Sampai bertengkar begitu.” “Bumi” 27 ”Siapa yang bertengkar? Dia saja yang selalu menyebalkan. Mencarimasalah,” aku mengarang jawaban. ”Eh, kalian tidak sedang membicarakan PR matematika, kan?Mengerjakan PR di lorong tadi?” Seli tertawa dengan kalimatnya sendiri. Aku melotot, mengancam Seli dengan bola bakso. ”Bercanda, Ra. Kamu sensitif sekali pagi ini. Aku saja yang diatabrak tadi di anak tangga nggak ilfil. Biasa saja.” Seli nyengir tanpa dosa. Semangkuk bakso kantin ini lumayan lezat, apalagi saat udaradingin, tapi topik pembicaraan ini memengaruhi lidahku. Apalagi menatapwajah jail Seli. ”Kamu tahu, Ra,” Seli tiba-tiba berbisik, menurunkan volume suara,di tengah ingar-bingar kantin yang dipenuhi teman-teman sekolah, yangcepat merasa keroncongan saat udara dingin begini. ”Tahu apanya?” Aku tidak semangat menatap wajah penuh rahasiaSeli. ”Ali pernah ikut seleksi Olimpiade Fisika,” Seli masih berÂbisik. ”Terus apa pentingnya?” Aku mengangkat bahu tidak peduli. ”Dia peserta seleksi olimpiade paling muda sepanjang sejarah, itu dia masih kelas delapan. Dia nyaris masuk dalam tim yangdikirim ke entah apa nama negaranya, Uzbekistan kalau tidak salah. Diatermasuk enam siswa paling pintar, genius malah. Itu penting sekali,bukan?” Seli ber-hah kepedasan, meraih botol kecap. ”Tapi si biang kerokitu batal dikirim. Pada minggu terÂakhir seleksi, dia meledakkanlaboratorium fisika tempat karantina peserta seleksi. Iseng melakukanpercobaan entah apa. Betul-betul meledak, Ra.” ”Dari mana kamu tahu itu?” aku basa-basi menanggapi. ”Perusahaan tempat papaku bekerja jadi sponsor utama timolimpiade itu, Ra. Kejadian itu dirahasiakan, wartawan hanya tahu timolimpiade pulang membawa beberapa emas dua minggu kemudian. Katapapaku, profesor pembimbing tim olimpiade tetap ngotot membawa Ali, “Bumi” 28bilang bahwa anak itu yang paling pintar. Dan menurut sang profesor,rasa ingin tahu kadang membuat seseorang nekat melakukan sesuatu,dan itu bisa diÂmaklumi, tapi panitia lokal menolaknya. Ali batal jadipeserta Olimpiade Fisika termuda sedunia.” Melihat wajah Seli yang semangat bercerita, aku setengah tidakpercaya, setengah hendak tertawa. Lihatlah, Seli berbisik seperti sedangmenceritakan kisah berkategori top secret—Seli sepertinya terlalu banyakmenonton serial Korea. ”Nah, Ali juga sudah empat kali pindah-pindah sekolah selamaSMP.” Seli mengambil sambal setengah sendok, tadi dia kebanyakanmenumpahkan kecap, membuat baksonya jadi terasa manis. ”Empat kali,Ra. Itu rekor.” ”Kamu tahu dari mana?” ”Kalau yang ini sih sudah rahasia umum.” Seli ber-hah keÂpedasanlagi, volume suaranya kembali normal. ”Semua anak di sekolah ini jugatahu. Kamu saja yang tidak memperhatikan, lebih suka menyendiri didalam kelas saat bel istirahat. Ali diÂkeluarkan dari sekolah, katanya sihkarena sering berkelahi.” Aku tidak tertarik dengan cerita Seli. Aku sedang menatap kasihantemanku itu. Lihatlah, dia sekarang menumpahkan kecap lagi. Sudahempat kali Seli bolak-balik menambahkan sambal dan kecap di mangkukbaksonya, membuat bening kuah bakso berubah hitam. ”Nah, saat penerimaan sekolah baru kemarin, banyak SMA yangmenolak menerimanya. Katanya sih bukan semata-mata karena dia seringberkelahi. Tapi seram saja.” Seli menyeka keringat di dahi. ”Seram apanya?” ”Seram kan kalau kamu harus menerima murid sepintar dia? Guru-guru kita saja sering grogi di kelas kalau dia mulai berÂtanya yang aneh-aneh. Kalau kamu dalam posisi harus mengajari anak sepintar dia, pastikamu salah tingkah. Horor dalam arti berbeda. Hanya Miss Keriting yangtidak peduli, bahkan tega menghukumnya.” Seli nyengir lebar. “Bumi” 29 Aku ber-oh pelan. Aku lebih tertarik menghabiskan baksoÂku. ”Sebenarnya sih... eh, tapi kamu jangan marah ya?” Seli tiba-tibaterlihat seperti menahan tawa. Apa lagi ini? Tanganku yang menyendok bakso terhenti. ”Tapi kamu jangan marah ya, Ra...,” Seli mengulangi. Aku menggeleng. ”Kenapa aku harus marah? Aku tidak pedulikamu cerita tentang si biang kerok itu.” ”Ali tuh sebenarnya termasuk gwi yeo wun...” Seli kini sungguhÂantertawa. ”Gwi yeo wun?” Dahiku terlipat. ”Cute, Ra. Kalau saja dia lebih rapi, sikapnya lebih manis,rambutnya diurus, pasti mirip bintang serial Korea yang aku sekali dengan Ra yang manis dan berambut panÂjang.” Kali ini aku sungguhan menimpuk Seli dengan bola bakso. Selitertawa dan cekatan menghindar. Tapi gawat! Baksoku meÂngenai kepalaanak kelas dua belas! Kami terpaksa bergegas kabur dari kantin, sambilberteriak ke tukang bakso bahwa bayarÂnya nanti-nanti. ”Kamu cari masalah, Ra. Cewek itu ketua geng cheerleader.” Seliberlari-lari kecil menarikku, berbisik sebal. Aku patah-patah mengikutilangkah kaki Seli, melewati keramaian kantin. Tadi itu jelas-jelas bukan salahku. Sasaranku kepala Seli, dan salahsiapa mereka duduk persis di belakang Seli? ”Semoga mereka tidak tahu kita yang melemparnya.” Seli nyengir.”Bakso yang kamu lempar telak mengenai kepalanya. Mereka pasti lagimarah-marah mencari tahu siapa yang meÂlempar.” Kami bergegas kembali ke kelas. Ruangan kelas X-9 masih kosong,hanya ada Ali yang entah kenapa sedang berada di meja kami, sepertihabis melakukan sesuatu. Seli meÂlotot, mengusirÂnya. “Bumi” 30 Ali hanya mengangkat bahu, merasa tidak bersalah. ”Sejak kapanorang dilarang duduk di kursi mana saja saat istirahat?” dalihnya. Diabersiap mengajak bertengkar. Aku menyikut Seli, menyuruhnya tidak menanggapi Ali. Setidaknya, hingga bel sekolah berbunyi, tidak ada kejadian yangmembuatku tambah jengkel. Pelajaran bahasa, aku suka. Aku memasangwajah semringah selama pelajaran berlangsung. Sepertinya hampirseluruh teman sekelas menyukai guru bahasa kami. Dia persis sepertitutor acara berbahasa yang baik dan benar di siaran televisi nasional,pintar, tampan, dan pandai bergurau. Hanya Ali yang tampak kusut,dengan wajah tertekuk di pojokan kelas. Aku tertawa dalam hati,meliriknya, mengingat cerita Seli di kantin tadi—yang entah betul atautidak, mungkin Ali benci pelajaran ini karena tidak tahu bagian manayang bisa diledakkannya. Bel pulang sekolah bernyanyi kencang, dengung gaduh meÂmenuhiseluruh bangunan sekolah. Aku pulang naik angkutan umum bersamaSeli. Sayangnya, tiba di rumah aku menemukan masalah baru. Masalahdengan dua kucingku. Dan itu lebih serius dibanding kejadian tadi pagi disekolah dengan sosok tinggi kurus yang mendadak muncul kemudianhilang di depan mataÂku. “Bumi” 31 ISA hujan sepanjang pagi sudah menguap di jalanan saatangkot yang kutumpangi merapat di depan rumah. Seli bilang nanti diayang bayar. Aku mengangguk, lalu turun dari angkot. Aku berlari-lari di rumput halaman, membuka pintu depan,berÂteriak mengucap salam—suara Mama terdengar menjawab dari naik ke lantai dua, menuju kamarku, melempar tas sekolahsembarangan ke atas kasur. Mama yang sedang memasak di dapurmeneriakiku agar bergegas ganti baju, makan siang, dan tiga kami harus segera beÂrangkat ke toko elektronik. Aku balasberteriak, ”Siap, Ma!” Aku tertawa riang. Jalan bersama Mama selalumenyenangkan. Hal pertama yang kulakukan kemudian adalah melongok ke sanakemari. Ini aneh sekali, biasanya dua kucingku sudah riang menyambutsaat aku masuk ke dalam rumah. Tapi tadi yang loncat dari balik pintuhanya si Putih. Si Hitam tidak kelihatan sama sekali. ”Hei, si Hitam mana, Put?” Si Putih seperti biasa menyundul-nyundul manja betisku,mengeong pelan. ”Kamu lihat di mana si Hitam, Put?” Aku lembut mengangkatÂnyadengan kedua telapak tangan, memeluknya, terus memeriksa kamarsambil menggendong si Putih. Aduh, ke mana pula kuÂcingÂku yang satulagi? Tidak ada di kamarku. Juga tidak ada di kamar lain lantai dua. Akuberanjak menuruni tangga, boleh jadi si Hitam sedang malas-malasan didapur, menghabiskan makanan. ”Kamu belum berganti pakaian, Ra?” Mama menegurku. Aku menggeleng, masih sibuk mencari. Si Hitam tidak ada di dapur. Tidak ada juga di bawah meja makan,di sebelah lemari, atau di tempat favoritnya selama ini. Aku menghela “Bumi” 32napas. Ini jarang sekali terjadi, bahkan seingatku tidak pernah ter kucing ”kembar”-ku ini selalu berÂsama-sama menyambutÂku. Selaluberdua ke mana-mana, berÂmain berdua, kompak. ”Apa si Hitam sakit, Put?” Si Putih yang sedang kugendong hanya mengeong. Mata bulatÂnyabekerjap-kerjap. Baiklah, aku beranjak memeriksa ruang tengah, ruangtamu, kamar mandi, bahkan garasi, apa pun temÂpat yang mungkin. Limamenit sia-sia, aku kembali masuk ke dapur. ”Kamu belum berganti pakaian, Ra? Ayo bergegas, kita tidak bisalama-lama di toko elektronik. Mama harus menyiapkan makan malam,papamu pulang lebih awal malam ini.” Mama meÂnatapku tidak tangannya yang sibuk memÂbereskan peralatan masak terhentisejenak, memperhatikanku yang sedang mencari sesuatu. Aku menggeleng. ”Kamu mencari apa sih, Ra?” ”Ma, lihat si Hitam?” ”Si Hitam? Bukannya kamu sedang menggendong kucingkeÂsayanganmu?” ”Bukan yang ini, Ma. Satunya lagi.” ”Satunya lagi apa?” ”Iya, kucing Ra yang satunya lagi, Mama nggak lihat?” ”Aduh, Mama nggak ngerti deh. Kamu jangan aneh-aneh lagi kayakwaktu SD dulu. Jelas-jelas sejak dulu hanya ada satu kucing di rumahini.” Mama melotot, lantas sedetik kemudian tÂanganÂnya kembalimembereskan peralatan. ”Ayo cepat ganti seÂragammu, lalu makan keseringan menggoda Mama seperti yang sering papamu lakukan,Ra.” “Bumi” 33 Aku menelan ludah. Sebenarnya aku ingin mengeluh, karena Mamaterlihat santai-santai saja padahal kucingku hilang satu, tapi akulangsung mengurungkannya. Aku seketika tertegun. Eh, Mama barusan bilang apa? Satu ekor? Aku benar-benar baru menyadari hal itu sekarang, detik ini. Sepertiada yang melemparkan pemikiran itu di kepala. DitamÂbah dengankejadian tadi pagi, melihat sosok tinggi kurus di sekolah, tiba-tibamembuatku berpikir ada yang benar-benar keliru dengan dua ekor kucing”kembar” kesayanganku selama ini. Setelah enam tahun punya kucing,aku pikir itu semua hanya gurauan Mama dan Papa. Jangan-jangan... ”Ayo, cepat ganti seragam. Jangan malah bengong,” Mama berÂserumengingatkan. *** Sejak usia enam tahun aku ingin punya kucing. Saking inginnya,aku pernah menculik kucing anggora milik Tante Anita, adik Mama,waktu kumpul arisan keluarga di rumahnya. Aku sehariÂan bermainbersama kucing itu, memegang bulunya yang tebal seperti beludru KW1,hangat memeluknya sambil tiduran, berÂlari mengejarnya di saat pulang, aku gemas dan meÂÂmasukÂÂkan kucing itu kedalam tas. Dua hari kucing itu kuÂsemÂbunyiÂkan di kamar. Persis hariketiga, Mama menemukanÂnya. Mama marah besar, bilang tanteku justru cemas mencari ke sanakemari kucing kesayangannya dua hari terakhir. Aku hanya menatappolos. ”Kucingnya lucu, Ma. Lagian Tante juga bilang, kalau Ra mau,kucingnya boleh dipinjam beberapa hari.” Mama tambah marah. ”Dipinjam itu berarti bilang-bilang. Kamumencurinya.” Papa hanya tertawa, meredakan marah Mama, bilang bahwa akumasih enam tahun. Papa lantas mengantar kembali kucing itu pulang kerumah Tante Anita, membiarkan aku merengek menangis. “Bumi” 34 ”Nanti-nanti, kalau Ra sudah besar dan bisa mengurus kucingpeliharaan sendiri, baru boleh,” Mama tegas berkata, dan itu berarti tidakbisa ditawar-tawar lagi. Tiga tahun berlalu sejak kejadian itu. Persis ulang tahunku yangkesembilan, kucing ”kembar” itu hadir di rumah kami. Aku yang tahu hari itu ulang tahunku berseru-seru riangmeÂnuruni anak tangga. Sambil mengucek mata, meÂnguap, masih ileran,rambut panjang berantakan, aku berteriak-teriak, ”Mama! Papa! Ra ulangtahun. Mana hadiahnya?” Mama dan Papa yang sudah bangun lebih awal tertawa. Merekamenungguku di meja makan sejak tadi. Aku ikut tertawa demi melihattumpukan kotak hadiah di lantai. Aku langsung loncat bersemangat. Ada enam kotak hadiah—dua dari Papa dan Mama, yang lain darisaudara dekat dan tetangga. Persis saat aku selesai memÂbongkar kotakkeenam dan tertawa membentangkan sweter hiÂjau, bel rumah ditekanseseorang, bernyanyi nyaring. ”Biar Ra yang buka.” Aku beranjak berdiri—siapa tahu itu kadokuyang ketujuh. ”Sejak kapan Ra mau disuruh membukakan pintu kalau adatamu?” Mama tertawa, menggoda. ”Yang ada malah berteriak-teriakmenyuruh orang lain.” Aku menjulurkan lidah. ”Biarin. Hehe.” Aku berlari-lari kecil kepintu deÂpan. Dugaanku tepat, itu kado ketujuh. Kado paling spesial. Di dalamkardus berwarna pink, beralaskan talam lembut, ditutup kain sutra,hadiah ulang tahunku menunggu. Saat aku membuka kain sutra tipis,dua anak kucing berbulu tebal terlihat mengeong tidak sabar, salinggelitik, bermain satu sama lain. Aku sungguh kehilangan ekspresi terbaik,tidak bisa berÂkata-kata lagi. Aduh, dua anak kucingnya lucu sekali. Matamereka bundar bercahaya, bulunya lebih lebat daripada yang bisakubayangkan. Dua anak kucing anggora usia dua minggu. KeduaÂnyatampak mirip. Warna bulu mereka hitam dengan bintik-bintik putih, atau “Bumi” 35boleh jadi sebenarnya putih dengan bintik-bintik hitam, saking ratanyawarna hitam-putih tersebut. Dua ekor kucing itu tidak bisa dibedakan,kembar. ”Mama yang membelikan kucing?” Papa berbisik. Papa dan Mamasudah berdiri di belakangku. Mama menggeleng. ”Mungkin dari tantenya.” ”Aduh lucunya.” Itulah kalimat pertamaku setelah terdiam satumenit menatap dua makhluk menggemaskan itu. Aku akhirÂnyamerengkuh dua ekor kucing itu, menoleh ke Mama dan Papa. ”Boleh Rapelihara ya, boleh ya, Ma?” Mama mengangguk, dan aku sudah rusuh membawa kotak itu kedalam, berlari, bahkan sebelum anggukan Mama terÂhenti. *** Masih enam tahun lalu, saat usiaku sembilan tahun. ”Kamu sudah memberi nama kucingmu, Ra?” Papa berÂtanya,meÂletakkan secangkir minuman hangat ke atas meja. Kami seÂdangberkumpul di ruang keluarga, habis makan maÂlam ulang tahun jadwal menonton DVD, film karÂtun favoritÂku. ”Sudah, Pa,” aku menjawab pendek, sedang asyik bermain berÂsamadua ekor kucing baruku di atas karpet. ”Papa boleh tahu namanya?” Papa antusias, mendekat. ”Si Hitam dan si Putih,” aku menjawab, tersenyum manis. ”Si Hitam atau si Putih, maksudmu?” Papa mendekat lagi,keningnya berkerut tipis, ikut melihat kucing yang merangkak naik dipahaku. ”Bukan, Pa. Si Hitam dan si Putih.” “Bumi” 36 ”Eh? Maksudmu, nama kucingnya ada dua? Dikasih dua nama ya,karena warna bulunya tidak bisa dibedakan hitam berbelang putih atauputih berbelang hitam?” Papa bingung. ”Bukan, Pa.” Aku menoleh. Masa Papa nggak ngerti juga, ujarkudalam hati. ”Kucingnya kan ada dua, Pa. Jadi yang satu namanya siHitam, satunya lagi si Putih.” Waktu itu aku tidak terlalu menganggap penting percakapantersebut. Mama menyikut pelan Papa, mengedipkan mata. Papamengangkat bahu, menoleh, menatap Mama tidak mengerti, lalu kemÂbaliduduk di sofa. ”Biasa, Pa. Beberapa anak juga begitu. Selalu punya teman lain’,”Mama berbisik. ”Teman lain?” Papa ikut berbisik. ”Teman imajinasi.” Mama tersenyum simpul. ”Bermain denganimajinasi. Karena kucingnya hanya satu, biar seru, mungkin Ramenganggap ada anak kucing lain, biar ada temannya. Jadilah dia sepertipunya dua kucing.” ”Mama serius?” Papa menelan ludah. ”Tentu saja. Coba Papa tanyakan ke teman kantor, tetangga,kenalan, mereka pasti bilang anak-anak biasa mengalami fase itu. Tidakberbahaya, lama-lama hilang sendiri.” ”Tapi Ra kan sudah sembilan tahun, Ma?” Mama tertawa pelan. ”Bukannya Papa sendiri yang bilang bahwa Ramasih bayi? Setiap malam selalu mengecup dahinya, bilang, ’Selamattidur, bayi besarku.’” Papa tertawa, lalu mengangguk. Dia meraih remote DVD player.”Mama benar. Ra masih anak-anak. Setidaknya dia senang sekali dengankucing barunya. Bahkan film kartun keÂsayangannya pun diabaikan. Kitanonton yang lain saja. MumÂpung Ra tidak akan protes.” “Bumi” 37 Malam itu, aku telanjur senang dengan hadiah kucing di dalamkotak berwarna pink itu. Aku sedikit pun tidak memÂperÂhatikanpercakapan Papa dan Mama. Dan karena sejak usiaku dua puluh duabulan, sejak bermain petak umpet itu, keluarga kami terbiasa dengan hal-hal aneh, soal kucing itu cepat atau lambat juga dianggap biasa saja. Bahkan saat arisan keluarga diadakan di rumah kami beberapabulan kemudian, Tante Anita berseru riang, ”Aduh, sejak kapan Ra punyakucing? Kok nggak bilang-bilang sih, Ra. Cantik sekali. Kayaknya lebihcantik diÂbanding kucing Tante, ya.” Sebelum aku menjawab, Mama justru memotong, bertanya balik keTante, ”Bukannya kamu yang kirim kotak pink itu? Hadiah ulang tahunRa enam bulan lalu?” Tante Anita menggeleng bingung. ”Aku kan mengirimkan pula kalau kucingÂnya secantik ini, lebih baik untuk aku saja.” TanteAnita lantas tertawa. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya yang mengirimkan kotakberwarna pink, beralaskan beludru dan ditutup kain sutra terbaik itu,dan tidak ada yang berusaha mencari tahu siapa yangmeÂngirimÂÂÂkanÂnya. Seiring waktu yang berjalan cepat, tidak ada yangterlalu memperhatikan saat aku bermain kejar-kejaran dengan duakucingku di taman, saling menggelitiki, basah-basahan, memberiÂkansusu, dan menyiapkan makanan. Bagiku, kucing itu selalu ada dua, siPutih dan si Hitam. Aku tidak pernah merasa kucing itu haÂnya satuseperti yang dilihat Papa, Mama, tetangga, atau keÂraÂbat. MeÂreka hanyatahu aku punya seekor kucing anggora lucu. *** ”Ra!” Suara Mama mengagetkanku. Mama sudah berdiri di depanpintu kamar. Aku menoleh. ”Aduh, berapa kali lagi Mama harus bilang. Cepat ganti baju, lalumakan siang. Kita harus jalan sekarang. Kalau kesorean, nanti tokoelektroniknya tidak bisa mengantar mesin cucinya hari ini. Mama jugaharus masak makan malam.” Mama sepertiÂnya terÂlihat marah,menatapku, tidak mengerti kenapa aku masih mengenaÂkan seragam “Bumi” 38sekolah. ”Ayo, Mama tunggu lima belas menit di garasi, sekalian Mamamembereskan garasi. Kalau kamu tidak siap-siap juga, Mama tinggal.” ”Iya, Ma,” aku menjawab pelan. ”Dan satu lagi. Bermain kucingnya bisa nanti-nanti. Si Putih atau siHitam kan bisa main sendiri. Dari tadi kucingnya diÂgendong, dibawa kemana-mana.” Mama menunjuk kucing yang masih kugendong. Aku menelan ludah, mengangguk. Punggung Mama hilang dari bingkai pintu, turun ke lantai satumenuju garasi. Sekarang suasana hatiku benar-benar berubah. Suram. Separuh hatiku sedih karena si Hitam tetap tidak berhasilkuÂtemukan setelah hampir setengah jam memeriksa rumah—aku mulaicemas jangan-jangan si Hitam kenapa-napa, separuh hatiku bingungdengan semua pemikiran baru yang berÂkembang di kepalaku. Bagaimanamungkin kucing itu hanya satu? Aku sendiri yang setiap harimenyusuinya dengan botol susu hingga usia beberapa bulan, memberikanpiring berisi makanÂan, meÂmandikannya, mengeringkan bulunya,menyisir buluÂnya. Mama pasti keliru. ”Kamu lihat si Hitam tidak, Put?” aku berbisik. Kucing yang kugendong hanya mengeong pelan. Mata bulatÂnyaterlihat bercahaya seperti biasa, manja menyundul-nyundulÂkankepalanya ke lenganku. ”Sungguhan tidak lihat?” Aku mengelus kepalanya. Kucing yang kugendong tetap mengeong pelan. Baiklah. Aku menghela napas, meletakkan si Putih di lantai,beranjak merapikan isi lemariku yang tadi kubongkar. Aku meÂmasukkankembali kotak berwarna pink yang enam tahun lalu tergeletak rapi didepan pintu rumah kami, tanpa pernah tahu siapa yang mengantarnya,tidak ada siapa-siapa di halaman, tidak ada kurir atau petugas yangmengantarkan kotak itu. “Bumi” 39 Baiklah. Urusan ke mana perginya si Hitam bisa kuurus seÂtelahpulang menemani Mama ke toko elektronik. Saatnya berÂganti seragam,makan siang dengan cepat. Siapa tahu saat aku pulang dari toko, duakucingku sudah bermain bersama lagi. “Bumi” 40 IMA belas menit kemudian, setelah mengunci pintu danmenutup gerbang pagar, Mama memboncengkan aku dengan Vespa,melaju di jalanan pukul tiga sore. Belum terlalu macet, cahaya mataharimulai terasa lembut, meski udara pengap kota tetap terasa. Mama gesitmenyalip kendaraan lain kalau saja aku lebih riang, aku akanmenceletuk, ”Salip lagi yang di depan, Ma! Lebih cepat!” dan akan balas tertawa. ”Tapi jangan bilang papamu kalau kitangebut.” Mama ke mana-mana lebih suka mengendarai motor, jago sejakkuliah. Menurut cerita versi Papa, bahkan dulu waktu kuliah Mamapernah ikut balapan motor, tapi aku memutuskan tidak percaya. Setengah jam acara salip-menyalip, Vespa Mama sudah terÂparkirrapi di basement pusat perbelanjaan besar. Aku berÂusaha menyejajarilangkah Mama yang kalau jalan juga selalu superÂcepat menuju tanggaeskalator. Tujuan pertama kami adalah toko elektronik. Aku sering ke toko ini, menemani Mama, tapi belum pernah kebagian mesin cuci. Terhampar di bagian tersendiri, berpuluh-puluh modelmesin cuci berjejer. Aku menatap terpesona seluruh mesin cuci itu sambilberpikir, ternyata tidak berbeda dengan ponsel, banyak model, banyakfitur, banyak spesifikasi, dan jelas banyak mereknya. ”Tergantung kebutuhannya, Bu,” petugas sales toko elektroniksudah melesat menyambut kami, tersenyum dua senti sesuai SOP,memulai strategi menjualnya. ”Kalau Ibu butuh mesin cuci yang bisamencuci pakaian sekotor apa pun, kinerjanya kinclong, Ibu pilih saja yangfront loading. Kapasitasnya besar, listriknya lebih hemat, dan efisientempat. Meskipun kekurangannya, mesinnya lebih bergetar, suaranyalebih berisik, agak beraroma karena sering menyisakan air di dalam, danlebih mahal.” Aku tertawa dalam hati, melihat gaya petugas sales itu. Akumembayangkan Ali dalam versi lebih dewasa, sok tahu sedang “Bumi” 41menjelaskan teori menghilang, eh mesin cuci. Seli salah, apanya yangcute, Ali itu lebih mirip petugas sales ini, malah lebih rapi petugas sales-nya. ”Atau kalau Ibu hanya mencuci pakaian yang tidak terlalu kotor,bujet terbatas, dan tidak punya masalah dengan tempat di rumah, pilihsaja yang top loading. Kinerja mencucinya tidak sebaik front loading, tapisiapa pula yang hendak mencuci seÂragam penuh lumpur? Anak Ibu tidaksuka pulang kotor-kotor, kan?” Petugas sales tertawa, menunjukku. ”AtauIbu mau menÂcoba jenis mesin cuci terbaru kami, hybrid dua model yangsaya jelaskan sebelumnya, high efficiency top loading? Ini palingmutakhir, meski paling mahal.” Sedetik tertawa dengan gurauanÂnya,petugas sales sudah kembali lagi dengan jualannya. Lima belas menit mendengarkan cuap-cuap petugas sales, Mamamenunjuk pilihannya. Model mesin cuci yang sama persis dengan punyakami yang rusak di rumah. Aku bingung menatap Mama. ”Setidaknya Mama tahu, yang ini bisa awet hingga lima tahun kedepan, Ra. Tidak perlu yang aneh-aneh,” Mama berbisik, menjelaskanalasannya. ”Terus kenapa Mama tadi sok mendengarkan penjelasan petugassales kalau memang akan memilih yang ini?” balasku, juga denganberbisik. ”Yah, setidaknya Mama jadi tahu model terbaru mesin cuci, kan?Lagi pula, kasihan petugas sales-nya kalau dicuekin.” Aku menepuk dahi, akhirnya tidak kuat menahan tawa. Betul, bersama Mama selalu menyenangkan. Petugas sales yangsedang mengepak mesin cuci yang kami beli menoleh, tidak mengertikenapa aku tiba-tiba tertawa, berbisik-bisik. Setelah memastikan mesin cuci itu akan diantar sore ini juga kerumah, paling telat tiba nanti malam, kami meninggalkan toko elektronik,pindah ke supermarket. Mama belanja keperluan bulanan. ”Kamu tidak “Bumi” 42mau ke toko buku?” Mama bertanya, menÂdorong troli masuk ke lorongdetergen dan teman-temanÂnya. ”Buku yang kemarin-kemarin saja belum Ra baca. Lagian banyakPR dari guru, Ma. Nggak sempet baca novel.” Aku mengÂgeleng. ”Nah, lalu jatah uang bulanan buat beli bukumu kamu pakai buatapa?” Mama menunjuk dompetnya di saku. ”Buat nambahin belikeperluan Mama saja ya.” Mama mengedipkan mata. ”Nggak boleh. Curang,” aku buru-buru berseru, memotong.”Sebentar, Ra punya ide lebih baik.” Aku bergegas meninggalkan Mama, pindah ke lorong lain disupermarket. Aku kembali lima menit kemudian, saat Mama sudahmendorong troli di lorong minyak goreng dan teman-temannya. AkuterÂsenyum, meletakkan satu kotak es krim batangan ke dalam troli. ”Idebagus, kan?” Mama menghela napas, tidak berÂkomentar. Itu pula enaknya pergibersama Mama, aku bebas belanja apa saja sepanjang itu memangjatahku. Persis jam tangan menunjukkan pukul lima sore, aku dan Mamamembawa kantong plastik belanjaan ke parkiran motor. Jalanan semakinpadat, suara klakson dan asap knalpot berÂgabung dengan kesibukanorang pulang kantor dan aktivitas lainnya. Setelah hujan sepanjang pagitadi, langit sore ini terlihat bersih, awan tipis tampak jingga oleh mataharisenja. Mama gesit mengemudikan Vespa-nya, menaklukkan tanganku memegangi belanjaan, satu tangan lagi panjangku berkibar keluar dari helm. ”Jangan bilang-bilang Papa kita ngebut, ya,” Mama berseru. Aku tertawa, tidak menimpali. *** Tiba di rumah, tetap hanya si Putih yang berlari-larimeÂnyambutÂku. Aku menelan ludah, hendak menggendong kucingku—namun urung, takut Mama mengomel. Aku membantu meletakÂkan “Bumi” 43belanjaan di dapur, beres-beres sebentar, lantas buru-buru menyingkirsebelum Mama menyuruhku membantu memasak. ”Ra ke kamar ya, Ma,ada PR.” Aku meraih kotak es krim baÂtangÂanku, dan sebelum Mamaberkomentar, aku sudah menuju ruang tengah, diikuti si Putih. Setelah lima belas menit mengerjakan PR matematika dari MissKeriting, aku berpendapat bahwa yang menyusun jadwal peÂlajaran kelasX-9 pasti genius seperti Ali. Bayangkan, dua hari berturut-turut pelajaranpertamanya adalah matematika—mood-ku menyelesaikan PR langsungmenguap. Mataku meÂmang meÂnatap angka-angka di atas kertas, tetapikepalaku meÂmikirkan hal lain. ”Kira-kira si Hitam ke mana ya, Put?” Aku beranjak meraih si Putihyang melingkar anggun di ujung kaki, menemaniku meÂngerjakan PR. Si Putih hanya mengeong. Mata bundarnya mengerjap berÂcahaya. ”Atau jangan-jangan tadi dia menemukan kucing betina ya, Put?Jatuh cinta? Jadi minggat?” Aku nyengir dengan ide yang melintas jail Putih tetap mengeong seperti biasa, manja minta dielus dahinya. Akutertawa sendiri. Itu ide buruk. Sepertinya aku harus membaca bukutentang kucing lagi, supaya tahu kenapa kucing minggat dari rumah. Iyakalau cuma minggat? Kalau kenapa-napa? Aku menelan ludah, buru-buru mengusir jauh-jauh kemungkinan buruk itu. Atau jangan-janganMama benar? Memang hanya ada satu kucing di rumah ini sejak dulu. SiHitam hanya imajinasiku. Teman ”lain”. Aku menelan ludah lagi, buru-buru mengusir penjelasan itu. Aku tahu persis ada dua kucing di rumah ini. Aku menamai yangsatu si Hitam dan satunya lagi si Putih karena meski nyaris terÂlihatsama, dua kucing itu berbeda. Warna bulu yang meÂngelilingi bola matamereka berbeda. Si Hitam seperti mengenaÂkan kacamata hitam tipis, dansi Putih sebaliknya. Hingga Mama meneriakiku agar segera mandi, bergegas turunmakan malam, aku lebih sibuk memikirkan kucing-kucing itu dibandingPR matematika. Sempat untuk kesekian kali aku berusaha mencari siHitam, berkeliling rumah dengan kedua telapak tangan menutupi wajah,agar Mama tidak melihatku. Si Hitam tidak ada di mana-mana, di “Bumi” 44halaman depan maupun belaÂkang. Kucingku itu sepertinya betulanminggat. Aku sementara menyerah. Sudah pukul tujuh malam, setengah jam lewat dari jadwalbiasaÂnya Papa pulang. Setelah mandi, membantu Mama menyiapÂkanmakan malam di meja, membantu Mama mengurus mesin cuci yangdiantar toko elektronik, aku dan Mama duduk di ruang keluarga,menunggu Papa pulang. ”Papa kenapa belum pulang juga ya, Ma?” aku bertanya. ”Mungkin macet.” Mama memencet remote, mengganti saluranstasiun televisi. ”Kita makan duluan yuk, Ma.” ”Tunggu Papa, Ra,” Mama menjawab pendek. ”Tapi Ra lapar, Ma.” Aku nyengir—memasang wajah seperti tidakmakan tiga hari. Mama tertawa, melambaikan tangan. ”Bukannya kamu sudahmenghabiskan tiga batang es krim sore tadi? Dasar gembul.” Aku memajukan bibir. Namanya lapar, ya tetap saja lapar. Pukul delapan malam, Papa belum pulang juga. Gerimis turunmembasuh rumah. Belum deras, tapi cukup memÂbuat jendela terlihatbasah, berembun. ”Tetap nggak diangkat, Ma,” aku berseru dari meja telepon. Barusaja, untuk yang keempat kali aku menelepon ponsel Papa. Mama menghela napas. ”Kantor juga mulai kosong, sudah pada pulang.” Aku menÂdekatisofa; aku juga barusan menelepon ke kantor. ”Kata satÂpam kantor yangmenerima telepon, Papa dari tadi siang nggak ada di kantor. Ra makanduluan ya, lapar berat, hampir semÂpoyongan jalannya nih.” “Bumi” 45 Mama menatapku yang pura-pura melangkah gontai. ”Ya sudah,kamu makan duluan saja.” ”Terima kasih, Ma.” Aku tersenyum lebar, langsung sigap menujumeja makan. Pukul sembilan malam, Papa belum pulang juga. Hujan turunsemakin deras. Hari-hari ini musim hujan, cerah sejenak seperti sore tadibukan berarti cuaca tidak akan berubah dalam hitungÂan jam. Petirmenyambar terlihat terang dari jendela dengan tirai tersingkap. Gelegarguntur mengikuti. Aku bahkan sudah dua kali naik-turun kamar, ruang keluarga,mengerjakan PR matematika, mengecek Mama yang masih meÂnunggusambil menonton televisi. Urusan kucingku si Hitam seÂdikit terlupakan—aku menghibur diri dengan meyakini si Hitam minggat ke rumahtetangga, nanti-nanti juga pulang. ”Mungkin Papa tiba-tiba diajak pemilikperusahaan pergi ke luar negeri kali, Ma? Kayak enam bulan lalu.” Waktuitu, Papa malah baru pulang besok sorenya, mendadak diajak surveimesin pabrik yang baru. Tetapi setidaknya, waktu itu Papa menelepon,memberitahu, jadi tidak ada yang menunggunya. Mama menoleh, terlihat mengantuk. ”Kamu tidur duluan saja, Mama yang menunggu Papa.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, kasihan melihat Mamayang pasti keukeuh tidak akan tidur, tidak akan makan sebelum Papapulang. ”Atau jangan-jangan Papa lagi berusaha memenangkan hati pemilikperusahaan, Ma? Eh, misalnya dengan bikin konser musik di rumahnya,ngasih hadiah kejutan, kali-kali saja pemilik perusahaan ulang tahun hariini.” Mama tertawa kecil. ”Kamu ada-ada saja. Sudah, kamu tidurduluan. Paling juga papamu pergi ke pabrik luar kota. Ponselnyaketinggalan di kantor. Lupa memberitahu.” Pukul setengah sepuluh, setelah dipaksa Mama, aku akhirnya naikkembali ke kamar. Kucingku si Putih sudah malas-malasan meringkuk “Bumi” 46tidur di pojok ranjang. Hujan deras membungkus rumah kami. Akumengintip dari sela tirai kamarku. Halaman basah, sejauh matamemandang hanya kerlip cahaya lampu di antara jutaan butir air. Akumenghela napas pelan, setidaknya Papa kan naik mobil, jadi kalausekarang dalam perjalanan pulang tidak akan kehujanan. “Bumi” 47 APA baru pulang lewat pukul sepuluh. Aku yang belum tidur,meski sudah mematikan lampu sejak tadi, bergegas turun saatmendengar mobil memasuki garasi. Aku menempelkan keÂdua telapaktangan ke wajah, mengintip dari sela jemari, berdiri di anak tangga. ”Papa minta maaf, Ma.” Suara Papa terdengar lelah, menyekarambut di dahi. ”Hari ini di pabrik kacau sekali. ”Tadi pagi Papa buru-buru berangkat ke kantor, karena jadwalpengoperasian mesin yang dibeli enam bulan lalu itu ternyata dimajukanhari ini. Pemilik perusahaan mengajak beberapa manaÂjer senior kepabrik, melihat seberapa baik mesin itu bekerja.” Papa mengembuskan napas, mengempaskan tubuh di sofa,meÂlepas sepatu. ”Setengah jam pertama, mesin itu sepertinya tidakbermasalah, bahkan sangat prima, tapi entah kenapa, persis saat kamiakan kembali ke kantor, salah satu sabuk mesin terlepas. Itu mesinpencacah raksasa, terbayang saat sabuk dengan lebar seÂtengah meter,panjang tiga puluh meter, terlempar begitu saja ke udara. Sebelaskaryawan luka parah seketika, dilarikan ke rumah sakit. Belasan lainluka ringan, terkena bahan mentah yang seperti peluru ditembakkan kesegala penjuru. Rombongan dari kantor beruntung ada di boks terlindungkaca, hanya dindingnya yang retak.” ”Tapi tidak ada yang meninggal, kan?” Mama bertanya priÂhatin,membantu membereskan sepatu dan kaus kaki Papa. Papa menggeleng. ”Tetap saja itu kecelakaan paling serius yangpernah terjadi. Operasional pabrik terpaksa dihentikan hingga mesin itudiperbaiki, kemungkinan hingga seminggu ke depan. Dan itu otomatisberarti Papa harus berangkat pagi puÂlang malam seminggu ke ini benar-benar seperti di luar akal sehat. Itu mesin baru. Teknisibule yang memasangÂnya bahkan masih ada di pabrik. Sabuk setebal ituputus begitu saja, seperti ada yang memotongnya dengan benda tajam.”